USBN PAI: Haruskah Dilaksanakan?


KEBIJAKAN Kementerian Agama (Kemenag) meng-USBN-kan Pendidikan Agama Islam (PAI) patut mendapat perhatian serius. Apalagi pelaksanaan Ujian Nasional (UN) masih penuh dengan permasalahan, baik dari segi teknis, substansi sampai dengan dampak secara sosial. Kemenag seolah tidak mau berkaca dan mengkaji ulang atas gagasannya untuk melangsungkan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) PAI.

Ujian berstandar nasional atau UN yang selama ini diadakan telah menggiring praktisi pendidikan dan anak didik terfokus pada materi pelajaran (mapel) yang diujikan. Dari sini bermunculan kritik terhadap pendidikan Indonesia yang cenderung mengagung-agungkan sisi kognitif siswa. UN dipandang telah mengabaikan mapel yang lain, seperti: PAI. Ini berarti meniadakan kecerdasan lain selain penguasaan terhadap mapel yang diujikan.

Mapel PAI yang terdiri atas Alquran-Hadis, Akidah, Akhlak, Fikih dan Tarikh atau Sejarah Kebudayaan memiliki karakteristik sendiri yang berbeda-beda antara satu aspek mapel dengan lainnya dalam satu rumpun mapel PAI. Lepas dari hal ini, yang jelas, kebijakan Kemenag ini memaksa kita untuk membaca ulang tujuan PAI, yaitu: pertama, untuk menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT.

Kedua, mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia, yaitu: manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah. Rumusan tujuan ini mengandung tujuan pokok PAI yaitu membentuk manusia religius. Dalam Islam, manusia religius lebih dikenal sebagai muttaqin, orang yang bertakwa kepada Allah SWT. Persoalan selanjutnya adalah, akankah USBN PAI akan mengarah pada tujuan itu, atau malah sebaliknya?

Dengan membaca dua tujuan yang ingin dicapai oleh PAI di atas, sangat jelas, berkaitan dengan akidah hubungannya dengan iman dan takwa kepada Allah SWT. Dengan akhlak mulia sehingga menjadi manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.

Tujuan yang sangat agung ini harus dipahami sungguh-sungguh. Jika diperhatikan dengan baik, sejujurnya hampir tidak memungkinkan PAI distandarkan secara nasional. Karena berkiblat pada UN yang sekarang diperlakukan hanya mengutamakan ranah kognitif (pengetahuan) saja. Sedangkan tujuan mapel PAI lebih menekankan pada akhlak mulia dan budi pekerti yang merupakan aspek afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif sangat sedikit dan terlihat hanya sebagai alat agar afektif dan psikomotoriknya dapat tercapai. Maka tidak masuk di akal untuk meng-USBN-kan, apalagi meng-UN-kan PAI.

Jawaban Baku Pengetahuan agama yang disistematisasikan mengharuskan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan definitif atau jawaban yang baku. Akibatnya, tidak mustahil sebagian anak-anak didik menganggap pelajaran agama sebagai momok. Bahkan orangtua pun kewalahan harus mendampingi anak-anak di sekolah dasar belajar agama secara kognitif. Bi-sa jadi, anak-anak yang kemampuan hafalnya lemah, padahal sesungguhnya cerdas, akhirnya menjadi korban pelajaran agama.
Yang mengkhawatirkan, kegagalan dalam ujian PAI membuat anak-anak apatis pada pendidikan agama. Juga mungkin terjadi, seorang anak yang jujur dan berperangai sopan, baik di sekolah, keluarga dan di masyarakat akan berubah karakternya menjadi curang dan tidak jujur dalam ujian karena merasa kewalahan untuk menghafal pelajaran agama. Bagaimanapun, PAI menekankan keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

USBN PAI jika terus dipaksakan akan menjadikan PAI terkungkung ukuran dengan indikasi-indikasi formal dan jawaban-jawaban pertanyaan ujian akan melahirkan dampak negatif pada anak didik dan pada PAI itu sendiri. PAI menjadi mapel yang terkungkung sebagai pelajaran kognitif, sebagaimana pelajaran yang lain. PAI menjadi jauh dari tujuan sebenarnya yang lebih menekankan aspek afektif dan psikomotor anak didik. Jika memang benar hal ini terjadi maka kerusakan moral anak bangsa merupakan salah satu dosa sejarah yang telah diukir oleh Kemenag. (Die)

Penulis, Dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Sumber: Kedaulatan Rakyat, Rabu, 30 Maret 2011

 

Baca Juga

Tentang Hidayat

Saya salah seorang guru IPA di MTs di Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. Pertama kali menjadi pegawai tahun 1998, saya ditempatkan di MTsN Rongkop (sekarang MTsN 9 Gk. Pada tahun 2013, saya mutasi ke MTsN Sumbergiri (Sekarang MTsN 2 Gk. Dan pada tahun 2019 saya kembali mutasi ke MTsN 9 Gk
Pos ini dipublikasikan di Artikel, Informasi dan tag . Tandai permalink.

Satu Balasan ke USBN PAI: Haruskah Dilaksanakan?

  1. Ping balik: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM VS USBN « faisalthahir

Tinggalkan komentar